Aceh Aneh, Di sini Januari Kami Bersama DN. Aidit

by. Hendryong
Hampir saja Januari lewat. Sementara aku tak pernah singgah di sini. Ini blog saya, kawan. Blog tempat saya menyajikan apa saja yang ada dalam kepala demi mengosongkan berbagai ragam rupa pikiran agar kemudian dapat terisi lagi dengan pikiran-pikiran lain yang segar dan baru. Malam ini, saya singgah lagi. Menulis beberapa kalimat, bercerita apa saja, sembari mengajak otak berjalan-jalan dalam proses ingat mengingat. Maka inilah tulisan saya akhir Januari ini. Mungkin isinya sama sekali tak enak kau baca atau boleh jadi kau tak ingin membacanya sama sekali. Tapi itu tak mengapa, sebab di dunia ini bukan kau saja yang ada. Hmmm...

Januari, bulan awal tahun ini, saya terasa sangat sibuk. Berbagai kegiatan mesti saya kerjakan. Kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan pekerjaan, kampus, hobby, dan lain-lain lagi saya kerjakan hampir berbarengan. Seolah-olah, saya memiliki tenaga ekstra plus punya beberapa pasang tangan untuk mengerjakannya. Namun begitulah, alhamdulillah, saya dapat mengerjakannya dengan baik walaupun mungkin masih terdapat kekurangan di sana-sini. Cuma ketika menulis tulisan ini, saya berpikir bahwa saya sudah melaksanakan pekerjaan sesuai dengan kapasitas kemampuan saya sendiri. Alhamdulillah juga, saya dapat menikmati secangkir kopi seperti semula. Duduk santai di meja warungkopi, membuka laptop, dan kemudian menuliskan beberapa isi pikiran seperti yang sedang kau baca ini.

Januari sedang menuju akhir memang. Sedang saya terus saja menikmati hidup dengan apa adanya, dengan sederhana sambil (walaupun tidak terlalu taat) bersyukur kepada Tuhan yang telah menganugerahkan rahmatNya kepada saya sebagai salah satu makhluk terlemah di dunia. Hingga sampai sekarang saya dapat mengerahkan pikiran walau hanya untuk menuliskan suatu tulisan kecil ini. Alhamdulillah. Syukur Alhamdulillah.
***

Pun begitu, tentang perihal di atas saya tidak akan memperlebar pembicaraan tentang apa yang saya lakukan minggu-minggu terakhir dalam paragraf ini; juga untuk paragraf-paragraf selanjutnya. Sebab, ada perihal lain yang lebih menarik perhatian untuk disampaikan di sini. Perihal yang saya maksud lebih kepada apa yang sedang terjadi dan ini berhubungan dengan kondisi sosial masyarakat daerah saya sekarang. Provinsi Aceh. Ya, saya tinggal dan berkegiatan di Banda Aceh sekarang. Nah, berbicara masalah Aceh dalam beberapa bulan terakhir, ini kampung memang sudah benar-benar aneh. Dan pernah saya curiga kalau untuk provinsi Aceh; beranjak dari hal-hal aneh yang terus-terusan terjadi, rakyat Aceh akan menamakan tanoh ienya ini menjadi provinsi Aneh. Provinsi Aneh, bukan provinsi Aceh. Namun, semoga saja kecurigaan saya tidak pernah ada. Semoga!

Namun melihat kondisi yang kadang mengernyitkan dahi ini, bukan tak mungkin pula apa yang saya curigai tadi memang benar adanya. Sebab, siapa yang tidak ingat tentang fakta kembalinya orang-orang 'setengah ghaib' yang pekerjaannya mencabut nyawa -saya tidak menghampirkan keberadaan mereka dengan malaikat pencabut nyawa, tapi perlu dipahami bahwa aksi-aksi mereka mengakibatkan saudara-saudara meninggal dunia- berkeliaran lagi dan menebarkan teror yang sudah hampir sewindu lamanya tidak terdengar lagi. Saya menyebutkan orang-orang biadab ini setengah ghaib dengan alasan bahwa -seperti yang banyak diberitakan- dalam melakukan aksinya mereka berkendaraan sepeda motor, menggunakan senjata api dimana dengannya kita tahu bahwa yang melakukan tindakan biadab ini adalah manusia dengan pure gaya konvensional manusia pula, namun celakanya ketika ingin menelusuri siapa nama, dimana rumahnya, siapa nama ibu yang telah menetaskan manusia pembunuh tersebut; hal ini sama sekali ghaib. Tak ada identitas apapun yang bisa diterka-terka atau bahkan di klaim oleh pihak berwajib. Ini aneh. Aneh yang sedang terjadi di Aceh.

Ranah politik lain lagi. Di Aceh polemik perpolitikan sedang gencar-gencarnya terjadi. Akhir-akhir ini, jelang Pilkada yang akan berlangsung, yang entah kapan waktu pastinya, berita koran di Aceh -lagi-lagi saya katakan- aneh-aneh. Sebenarnya hal keadaan begini adalah perkara-perkara biasa saja. Biasa terjadi di kota-kota besar maupun di kota-kota udik sekalipun. Namanya saja politik. Namun, di Aceh, saya sebagai orang Aceh tetap saja ingin mengatakan bahwa politik di sini benar-benar aneh. Aneh. Sekali lagi saya katakan polemik politik di Aceh adalah benar-benar aneh. Ini saya ungkapkan dengan alasan, melihat kepada kubu-kubu politik yang saling berpolemik. Bayangkan, orang-orang yang dulunya sama-sama bahu membahu berjuang demi membela rakyat kebanyakan, sekarang malah bertikai antar sesama hanya demi memperjuangkan -kelihatannya untuk- kepentingan pribadi atau kelompok saja. Bukankah hal keadaan begini ini adalah aneh adanya?

Maka, bersoal dengan dua hal keadaan yang saya gambarkan secara garis besar di atas, adalah suatu hal yang tidak musykil jika suatu saat rakyat Aceh mesti bersuara juga akhirnya. Bersuara yang saya maksudkan ini bukanlah bersuara dengan cara pribadi-pribadi tentunya. Melainkan bersuara dengan satu pita suara terbuka dan melalui satu mulut yang dipikul oleh segenap gelombang massa rakyat Aceh semua. Jenis suara ini pun tentu saja bukan sembarang suara. Suara ini berjenis pertanyaan atau bahkan secara tegas kita katakan sebagai GUGATAN atas terjadinya hal-hal aneh ini. Keberadaan hal-hal aneh yang dapat merisaukan nyenyak tidur rakyat kebanyakan, mengganggu keselamatan nyawa rakyat, dan juga menumbuhkan rasa bosan yang berlebihan sehingga menyebabkan stress berat kepala rakyat. Tentu saja jika ditanya kepada siapa mempertanyakannya hal-hal yang demikian, maka jawabannya adalah ya mempertanyakan kepada pihak-pihak yang bertikai itu sendiri. Rakyat punya hak di sini. Rakyat punya banyak hak dalam masalah begini ini. Dan tentu saja rakyat sudah cukup bosan jika dari hari ke hari terus-terusan mendapati keanehan-keanehan yang terjadi.

Dalam kondisi yang penuh polemik, saya teringat -ingatan ini muncul secara rekaan setelah membaca bukunya- DN Aidit pernah menyebutkan keadaan sejatinya rakyat ketika menghadapi hal-hal yang tak masuk akal. Sebutnya, pada dasarnya untuk mengukur keberadaan hati rakyat, peribahasa telah mengajarkan bahwa dalam laut dapat diduga, dalam hati siapa tahu. Tambahnya -mungkin ketika mengaitkan peribahasa ini dengan keberadaan rakyat, Aidit menyeka keringat di dahinya berkali-kali- lagi; "dalam dunia modern sekarang laut yang sedalam-dalamnya mudah diukur, dan bahkan angkasa dapat diukur. Tetapi tak ada dan tidak akan ada alat modern yang bagaimanapun yang dapat mengukur hati rakyat. Hati rakyat hanya dapat diukur dengan hati. Pikiran rakyat hanya dapat diselami dengan pikiran. ... Untuk ini kita harus mementingkan turun kebawah (turba) untuk mengadakan riset. Oleh karena itu, dengan tidak menunggu kesempatan turba untuk mengadakan riset yang tentu harus selalu kita usahakan, kita harus menambah pengetahuan kita dengan banyak belajar dan banyak bertukar pikiran."

Aidit unjuk bicara. Ya, dia berbicara ketika ia sedang duduk dalam jajaran elite politik ini negeri. Ia bicara tentang apa sih yang ada dipikiran rakyat sekarang ini, padahal ia, waktu membicarakan masalah begini rupa boleh jadi sedang hidup dengan enak, mapan, atau selalu dalam hidup serba keenakan (sekali lagi saya sebut; boleh jadi yang berarti entah benar pernah terjadi?). Atau mungkin Aidit berbicara seperti ini -sah juga jika kita curigai- hanyalah sebagai hasil pikirannya yang selalu berafiliasi dengan pemikiran komunisme yang dia anut itu. Tapi, dalam hal ini, saya tidak membicarakan masalah arah politik seseorang. Komuniskah ia, atau apapun paham-paham lainnya, adalah tidak penting jika merunut pada keadaan ketika rakyat sedang kejepit. Yang penting adalah bagaimana si tokoh politik yang dengan suaranya dapat keluar kebijakan-kebijakan berbicara tentang rakyat, bekerja untuk memperjuangkan kepentingan rakyat, dan lain sebagainya demi kebaikan rakyat. Lalu, bagaimana dengan sekarang. Adakah elite-elite politik kita di Aceh seperti ini? Adakah para orang-orang yang sudah merasa jadi tokoh itu berbicara tentang keadaan rakyat? Saya rasa tidak. Tidak ada sama sekali. Yang ada hanyalah statement-statement berkedok untuk kepentingan rakyat padahal jelas-jelas isi statement adalah demi kepentingan pribadi atau kelompoknya saja.

Beranjak dari keadaan ini, saya jadi ingin memiliki poster Tuan DN. Aidit tertempel manis di tembok kamar saya.

Maka dalam soalan kondisi Aceh yang terasa aneh gara-gara tingkah para orang-orang yang merasa ditokohi sekarang ini, hal yang memusingkan kepala kita bahwa kenapa masih ada orang yang tidak mau tahu tentang pikiran rakyatnya sendiri. Sementara hal yang sering mereka perebutkan adalah kebanyakan urusan kepentingan perut mereka saja. Ini dikatakan dengan pijakan; bacalah koran-koran harian. Catatlah berita-berita yang ada. Ketika teror dan jadwal pilkada hadir dalam waktu yang hampir bersamaan. Berita apa yang lebih banyak terangkat? Sampai di sini, rakyat punya jawabannya saya kira. Selanjutnya, sebab geram juga, saya sebut sajalah: "gampong lahee lon adalah PROVINSI ANEH!"


gagasan tulisan ini sudah saya tulis sebelumnya akhir desember lalu. cuma dalam kesempatan ini saya tambahkan lagi seperti halnya yang telah kau baca ini. wassalamu!

Source: DN Aidit, Buku Seni & Sastra, (Radja Minjak, 2002), dan http://www.kaskus.us/   


Bivak Emperom, Medio Desember - Januari.

Comments

  1. salam sahabat..
    bagus sekali, memang jika ditelusuri nangroe kita (Aceh) tak pernah aman seaman-amannya, masyarakat kita suka berperang sekaligus mencintai damai.
    memang aneh, tapi inilah kenyataannya.

    salam :)

    ReplyDelete
  2. Apa tulisan ini dibuat tidak dengan sekali duduk?

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Stratifikasi Sosial Dalam Sosiologi - Bag. I

Review Buku Melukis Islam Karya Kenneth M. Goerge

Orasi Sastra Remi Sylado Pada Acara Napak Tilas Rendra